“Oughhh… aaahhh… sayang, kamu nakal banget… berani juga… aaahhh… macam memperkosa Tante,” godanya terbata-bata, karena sodokanku semakin kencang membuatnya mendesah nikmat.
“Lah, siapa suruh Tante bahenol begini? Siapa yang tahan kalau cuma berdua di rumah, apalagi Tante cuma pakai daster tanpa daleman? Pasti penisku ngaceng pengen masuk ke vagina Tante yang montok,” jawabku dengan nada sedikit kacau.
“Kenapa nggak bilang dari tadi kalau kamu udah terangsang banget? Nggak perlu sampe perkosa Tante!”
“Yasudah, nikmati aja tubuh Tante sepuasmu, sayang. Tante rela kalau buat kamu,” ucapnya.
Kupercepat tusukanku hingga Tante orgasme untuk kedua kalinya. “Aaakhhh… sayanggg… Tante keluar lagi nih… aahhrhhh…” desahnya penuh kenikmatan.
Aku mengganti posisi—kini Tante di atas, aku di bawah. “Gantian, Tante yang puasin aku. Aku belum orgasme, nih.”
Tanpa buang waktu, Tante menggoyangkan pinggulnya maju-mundur, cairan kewanitaannya masih membasahi. Lalu, dia beralih memompa penisku naik-turun. Kuseimbangkan dengan sodokan dari bawah, hingga terdengar suara “plak, pak, pok” dari pantat dan selangkanganku.
“Plak… pak… sayang, enakan? Emang kamu kuat kalau Tante giniin?” tanyanya sambil memperkuat hentakan.
“Aaaahhh… Tanteee… aku keluar!!” “Barengan ya, Tante juga mau keluar lagi.” “Aku keluarin di mana, Tan?” lirihku, karena pertahananku sudah jebol.
“Iya, sayang, keluarin di dalam aja. Taburin benihmu di rahim Tante,” pintanya.
“Aaaaghhhh… Tanteeeee… ssshtttt…” Desahan kami bercampur saat mencapai puncak bersama.
Penisku yang masih tertancap kubiarkan hingga mengecil sendiri. Setelah itu, kami tidur bagaikan suami-istri hingga pagi. Hubungan intim kami berlanjut bahkan setelah Tante Selvi jadi istri Papa. Karena puas denganku, Tante tak pernah menolak ajakanku bersetubuh.
Leave a Reply