Kujilati vaginanya, mencium aroma khas yang membangkitkan nafsuku. Dia mulai bernafsu—tak lagi berontak, bahkan mengangkat satu kakinya ke atas meja kompor, memberi ruang agar aku lebih leluasa menjilatnya. Akhirnya, dia pun terbawa hasrat.
“Sudahlah, kalau kamu mau nikmatin tubuhku, lakukan aja. Tapi Tante minta jangan sampai Papa tahu kita pernah begini. Kapanpun kamu mau, Tante kasih, asal jangan paksa, apalagi kalau Papa ada,” keluhnya.
Tante Selly lalu membalikkan badan, duduk di atas meja kompor, membuka lebar pahanya, dan menyingkapkan kedua bibir vaginanya. Kini terlihat jelas vaginanya merah merekah, ditumbuhi bulu halus yang lebat. Tanpa ragu, aku berdiri dan memasukkan penisku ke dalam lubangnya.
Kurasakan vagina Tante Selvi sedikit basah, tapi sepertinya dia belum sepenuhnya terangsang dengan apa yang kulakukan tadi. Aku mencabut penisku, lalu berjongkok di belakang pantatnya, menjilati vaginanya dari bawah.
“Aahhh… kamu mau apa sama Tante?” tanyanya dengan nada khas wanita yang menahan kenikmatan.
Kujilati vaginanya, mencium aroma khas yang membangkitkan nafsuku. Aku merasa dia mulai terbawa hasrat—dia tak lagi melawan, bahkan mengangkat satu kakinya ke atas meja kompor, memberi ruang agar aku lebih leluasa menjilat. Akhirnya, dia pun tersulut gairah.
“Sudahlah, kalau kamu mau nikmati tubuhku, lakukan saja. Tapi Tante minta jangan sampai Papa tahu kita pernah begini. Kapan pun kamu mau, Tante kasih, asal jangan paksa, apalagi saat Papa ada,” ucapnya dengan nada pasrah.
Tante Selvi lalu membalikkan badan, duduk di atas meja kompor, membuka lebar pahanya, dan menyingkapkan kedua bibir vaginanya. Kini terlihat jelas—vaginanya merah merekah, ditumbuhi bulu halus yang lebat. Tanpa ragu, aku berdiri dan memasukkan penisku ke dalamnya.
“Ssstt… aaahhh… nikmatnya… penismu besar dan keras sekali, oughhh,” rintihnya keenakan.
Aku menggenjotnya semakin ganas. Hampir sepuluh menit berlalu, dan akhirnya dia mencapai orgasme. Tapi aku belum klimaks.
“Tante, aku belum keluar…” keluhku.
Seperti kelaparan, dia turun dari meja dan langsung menjilati penisku dengan liar. Dia benar-benar ahli—penisku hampir lenyap ditelannya. Tak lama, kutekan kepalanya dalam-dalam. “Oooohhh… Tanteee, aku keluaaarrr… aaahhh…” erangku. Aku memuntahkan semua spermaku ke tenggorokannya.
“Kita pindah ke kamar, Tan. Nggak seru di dapur,” ajakku.
Kugendong Tante ke kamarnya, lalu melanjutkan dengan memasukkan penisku lagi ke vaginanya. Dengan posisi aku di atas, kugoyang pinggulku kencang sambil meremas payudaranya, tak lupa memelintir putingnya yang sudah mengeras.
bersambung….
Leave a Reply